Sunday, January 28, 2007

bursa jatuh 70 poin, siapa panik apa?

Ini adalah yang pertama kali di Indonesia. Sebuah institusi keuangan negara menggelar konferensi pers demi melihat penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi 70 poin dalam sehari perdagangan.

Pada Rabu (17 Januari), Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendadak menggelar jumpa pers. Dua menteri yang di kalangan wartawan sempat menerima predikat ‘pelit ngomong’ ini tegas menjelaskan koreksi bursa pada hari itu adalah hal wajar, dan bukan berarti ada pelarian modal ke luar negeri.

Begitu pentingnya konferensi pers itu, Depkeu ‘menyeret‘ petinggi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), serta PT Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Soal wajar-tidak wajar, Departemen keuangan memang benar. Penurunan indeks sangat mungkin terjadi, apalagi jika hanya 4% seperti pada Rabu. Di bursa negara manapun, penurunan sebesar itu jamak terjadi.

Di Indonesia sendiri, penurunan sebesar itu bukan yang pertama. Indeks pada perdagangan 22 Mei 2006, misalnya, merosot 83,95 poin (6,03%) ke level 1.309,05. Pada hari yang sama, rupiah juga melemah 127 poin ke posisi Rp9.327. Tapi tak ada konferensi pers hari itu.

Lalu mengapa pada Rabu Depkeu merasa perlu menenangkan pasar? dan lebih jauh lagi, benarkah pasar tengah mengalami kepanikan seperti dugaan Depkeu sehingga perlu ditenangkan?

Beberapa jam sebelum Depkeu menggelar hajat pers itu, Bisnis sempat menanyakan kemungkinan panik di pasar kepada Kepala Riset PT Eurocapital Peregrine Securities Poltak Hotradero. Tegas dia menjawab, “tidak.”

Dia tak sendirian. Beberapa kalangan analis yang dihubungi terpisah juga berpendapat sama, sebut saja Analis Bhakti Capital Budi Ruseno atau analis PT Financorpindo Nusa Teuku Hendry Andrean.

“Kok pinginnya indeks naik terus, memangnya yang masuk ke bursa duit siapa, duit kita? Investor kan juga butuh gain setelah setahun kemarin [indeks] naik 55,3%,” tutur Poltak.

Jika pemerintah ingin indeks konsisten naik, lanjut dia, maka fundamental perekonomianlah kunci jawabannya. Kendala infrastruktur, izin investasi, dan perpajakan perlu terus dibenahi agar modal yang mengendap di Indonesia dapat digulirkan ke sektor riil.

“Dana pihak ketiga (DPK) di bank saja nilainya mencapai Rp1.300 triliun yang butuh segera digulirkan, belum lagi optimisme asing yang menanamkan dananya di pasar obligasi hingga Rp50 triliun,” ujarnya

Pantas khawatir
Di sisi lain, respon Depkeu yang berusaha mengantisipasi kekhawatiran pasar itu memang beralasan baik secara teknis maupun politis. Secara teknis, perdagangan sepanjang Rabu cukup membuat dada berdetak kencang terutama bagi yang mengharapkan kenaikan indeks.

Penurunan sebesar 70 poin menyumbang tumbangnya indeks menuju level 1.678,04, atau minus 158,48 poin dalam sepekan. Secara year to date, penurunan akhir pekan kemarin memotong seperempat kenaikan sepanjang tahun lalu.

Rata-rata dalam sembilan hari pertama tahun ini, indeks terkoreksi 17,6 poin. Bandingkan dengan ‘capaian’ indeks tahun lalu yang menguat rata-rata 1,76 poin sehari, atau 642,88 poin setahun.

Belum lagi dengan hedge fund Amerika Serikat dan Eropa yang sedang menghadapi kondisi ketatnya proses mendapat ‘amunisi’ investasi dari bank. Kebijakan otoritas moneter kedua benua itu membuat mereka tak bisa main gelontor kapital ke bursa Asia seperti sebelumnya.

Padahal peran hedge fund di bursa wilayah Asia Pasifik sangat kuat dan besar dengan dana gelontoran US$120 miliar. Aliran dana mereka juga beralih (investment switching) secara cepat dari bursa satu negara ke negara lain, mengikuti aroma potensi laba.

Direktur Utama BEJ Erry Firmansyah sempat menafikan faktor tersebut. Dalam jumpa pers, dia menegaskan investor lokal yang lebih banyak melakukan penjualan, bukan asing.

Namun data Bloomberg berkata lain, pada hari yang sama nilai portofolio asing di bursa Indonesia—dan bursa Asia lainnya—mengalami penurunan. Penjualan bersih (net selling) asing mendominasi perdagangan Rabu senilai Rp262 miliar.

Lalu mengapa Depkeu begitu responsif menanggapi penurunan indeks bursa, jawabannya mungkin terlihat pada penutupan dan pembukaan perdagangan bursa pada 28 Desember dan 2 Januari, ketika pemerintah menilai kenaikan indeks bursa sebagai prestasi besar.

Secara politis, pasar bursa kini seolah-olah menjadi semacam the last frontier (pertahanan terakhir) prestasi kinerja pemerintah SBY-Kalla, di tengah tersendat-sendatnya sektor riil mencetak pertumbuhan serupa.

Dan ketika kenaikan indeks bursa dijadikan prestasi dalam rapor kepemerintahan, maka penurunannya pun disikapi dengan konferensi pers.

***
Satu lagi, tulisan yang (entah kenapa) berakhir di blog. hehe...

Anonymous said...
baca2 postingan Arif yg dulu2.. menarik bgt.. keep writing..

regarding this post: i have no interest in stock market... don't even know how it works :P. so.. i dunno what to say! :D
turabul-aqdam said...
Halo Amel,.. thanks 4 the visit. iya aku juga ga minat ma bursa.. sering bingung juga, kok bisa y nulis soal bursa.

padahal gw kan lulusan sastra inggris? wakakakakak...

looking forward to getting ur guidance 4 this blog. :p
Subscribe to: Post Comments (Atom)