Monday, December 12, 2005

passing over

“Semua bisa merasakan sejuknya udara. Lalu mengapa kita menganggap diri kita paling bisa merasa? Semua orang memegang kebenaran agamanya, maka mengapa merasa agama kita paling benar?” (seorang kawan)

Agama—yang manapun juga—lahir dengan tujuan sangat mulia. Namun apa lacur jika kemudian agama menjadi motivator spiritual untuk menyalahkan, “membunuh” ajaran agama lain, atau bahkan pada kasus tertentu melegalkan pembantaian penganut agama lain?

Di tataran kehidupan formal selanjutnya, muncul kelompok penganut agama yang menggunakan agama sebagai identitas kelompok untuk kemudian berlindung di baliknya guna mencapai kepentingan kelompoknya, mereka dicap sebagai ekstrem kanan. Sebaliknya, mereka yang menolak penggunaan dan bahkan keberadaaan agama dalam kehidupan pragmatis, dicap sebagai kelompok kiri.

Sementara, kelompok yang tetap menerima keberadaan agama dalam kehidupan formal tapi dalam kondisi tertentu tak menggunakannya sebagai landasan justifikasi masalah-masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat plural diposisikan sebagai kelompok moderat. Di sini, istilah kiri maupun kanan seringkali menjadi terminologi yang tendensius daripada sekedar istilah biasa.

Ketiga kelompok tersebut takkan pernah bisa bersatu sebelum mereka menanggalkan kerangka berpikir terhadap kekiri-kananan yang dipegang dan kemudian menggunakan kerangka berpikir pihak lain dalam memandang konsepnya. Secara lebih sederhananya mereka harus melakukan langkah passing over.

Konsep memahami dengan kesediaan melampaui cara berpikir ini pernah dianalogikan secara sederhana dalam buku Chicken Soup for The Children Soul. Disebutkan, bahwa jika dua orang melihat satu objek bersisi dua dari arah berlawanan, maka perdebatan tak akan berakhir selama keduanya belum mau melihat objek tersebut dari sisi orang lain lawannya.

Hal sama juga seharusnya terjadi pada cara kita memandang dan memahami agama yang kita anut. Kebanyakan, para pemimpin agama mendoktrin umatnya memahami agama secara tertutup dengan alasan menjaga kemurnian ajaran agama—alasan yang sangat kontradiktif dengan paparan di mulut mereka mengenai kebenaran agamanya.

Disebut kontradiktif, karena kebenaran hakiki—atau minimal mendekatinya—hanya dapat ditemukan jika kita mau membenturkan kebenaran yang sudah ada dengan kebenaran lain pada ruang lingkup permasalahan sama. Jika kita menutup kebenaran komunal yang kita pegang, maka kebenaran itu akan menjadi kerdil, umatnya pun liar melihat dunia luar yang penuh komunitas berkeyakinan beda.

Imbasnya, segala hal dijustifikasi dengan parameter dalam ajaran agama sendiri, bukan agama lain. Jika ada satu permasalahan yang melibatkan kepentingan dua pemeluk agama berbeda, pertentangan verbal maupun fisik tak terelakkkan dalam menentukan jalan keluarnya.

Pada hakikatnya, tak ada kebenaran mutlak di kehidupan yang sangat relatif ini. Kebenaran mutlak hanya dipegang “Sang Pencipta kebenaran” itu sendiri. Kita tak akan bisa menciptakan kebenaran mutlak, karena—layaknya pemikiran filasafat—kebenaran di muka bumi selalu terseret tergantung pada fakta atau evidensi yang teikat dengan dimensi ruang dan waktu di sekitarnya.

Kebenaran yang berlaku di tataran kehidupan manusia hanyalah kebenaran tentatif. Oleh karenanya, kebenaran tersebut akan selalu berubah. Implikasinya, kita tak berwenang menjustifikasi kebenaran agama lain. Pasalnya, agama itu telah berada di tengah manusia, tak ada lagi sang utusan yang berbicara atas nama Tuhan.

Dalam kehidupan plural yang sangat rentan dengan pertikaian bermotif identitas atau simbol agama, kita perlu memahami cara pikir umat lain terhadap agamanya. Cara ini mengharuskan kita berpassing over, meloncat dari kerangka berpikir yang telah mapan di otak kita untuk kemudian memposisikan diri sebagai seorang yang seolah-olah “belum beragama”, untuk kemudian memahami konsep agama umat lain.

Jika pemahaman tersebut kita ikuti dengan penerimaan dan penempatan konsep agama lain sebagai wujud pengayaan konsep hidup--tanpa meninggalkan agama asli kita, maka kita telah melakukan konsep Teologi politik Radikal a la Michael Novak. Dalam konsep ini, semua agama diposisikan sebagai seperangkat konsep yang saling melengkapi tanpa harus dibatasi nama dan identitas ajaran; Kristen, Katolik, Islam, Hindu, atau Buddha.

Meski kita telah memeluk satu agama, kita tetap mencari konsep agama lain untuk melengkapi konsep yang telah kita miliki. Dalam hal ini, agama dijadikan sebagai ideologi yang terbuka. Landasan filosofisnya adalah; “Saya ingin Tuhan selalu ada di dalam diri saya, dan Tuhan tersebut haruslah Tuhan Yang Satu, meskipun di tiap ajaran agama dimanifestasikan dalam berbagai wujud.”

Implikasinya, ia akan berusaha mencari konsep agama yang membumi dalam kehidupan baik dari sumber agama beridentitas apapun. Muaranya, seorang Kristen bisa mengatakan bahwa saat ia mengucapkan mantra omm ,ia bisa merasakan getar spiritual sama seperti ketika ia menyanyikan lagu Holy Night di malam Natal.

Atau, lebih merasa tercerahkan dengan memahami konsepsi Buddha mengenai karma, nirvana, maupun omitohud. Jika kita membaca buku Siddharta karya Herman Hesse, kita pun akan mendapatkan kesadaran, pencerahan, dan kearifan yang juga layak diterapkan dalam hidup.

Dan menurut saya, sikap seperti ini tak akan serta-merta mengubah keyakinan kita selama konsep agama yang kita anut telah mapan. Substansi semua ajaran agama adalah sama meski terangkum dalam retorika maupun metode berbeda.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sisi ruhaniah yang membuatnya memiliki potensi mencapai kenikmatan spiritual—atau menurut istilah kaum Post modernis—ekstase spiritual. Seorang pemain gitar disebutkan dapat mencapai ekstase spiritual saat ia memindahkan jarinya dengan kecepatan ekstrem dan tersistem, menciptakan lengkingan-lengkingan intens. Cepat namun berirama.

Kesimpulannya, semua orang bisa mencapai ekstase spiritual sama tanpa harus menjadi Paus atau Pendeta dan Kyai yang bertasbih ribuan kali. Di sini mungkin ada yang mengklaim bahwa tujuan akhir ekstase spiritual mereka berbeda; bisa Tuhan, Setan-mungkin—atau variabel lain yang dalam Islam disebut sebagai taghut. Saya tidak tahu mengenai hal itu, dan lebih tertarik bertanya: hanya itukah tujuan agama—tepatnya tujuan orang beragama? Mencapai ekstase spiritual?

Seorang atheis sekalipun berusaha memenuhi sisi ruhaniah ini. Mereka mencari dan menerima berbagai konsep agama. Bedanya di sini, mereka tak mau terikat pada satu doktrin agama yang sangat non-pragmatis. Mereka mensinkretiskan ajaran agama. Dostoevsky sempat khawatir jika atheisme berarti nihilisme; “Jika Tuhan tidak ada, apa saja akan diperbolehkan.”

Namun di sisi yang berlawanan, Michael Novak mengkritik agama-agama yang menurutnya telah terjebak dalam penuhanan identitas dan kepentingan komunal, Agama kini nihil. Masih adakah peran agama dalam hidup sebagai resep pengatur manusia agar tak kacau (a gama)? Menurutnya lagi, “segi terpenting dari tujuan-tujuan kita sekarang adalah bahwa seorang ‘atheis’, ‘agnostik’ atau ‘sekular’ bukan lagi berarti seorang nihilis.”

Jika semua manusia terbuka menerima konsep agama lain yang tak bertentangan dengan konsep dasar agama yang dipegang, maka bukan tak mungkin agama menjadi sesuatu yang fleksibel dan dapat diterapkan di berbagai zaman. Inilah letak pentingnya agama menurut Novak. Agama seharusnya tak mendoktrin sesuatu yang bersifat transendental saja, tapi juga mampu membantu kehidupan manusia di dunia, tanpa membunuh agama lain.

Juli, 2002.

(sebuah makalah diskusi yang pernah saya sampaikan untuk adik-adik di HMI. Allah adalah Allah, terlepas bagaimana kita menyembah-Nya atau menyebut nama-Nya)

Subscribe to: Post Comments (Atom)