Saturday, June 11, 2005

janji itu

“Jadi, Mas? Maaf lho Ayu ngerepotin.”

Aku tersenyum simpul. Beberapa menit kemudian, ia duduk di sebelahku. Kami meluncur ke arah Indraprashta. Tak banyak yang terjadi. Hanya percakapan basa-basi, tanganku yang melingkarkan sabuk keselamatan ke tubuhnya sebelum memasuki jalan protokol, dan canda-canda kecil tentang HMI, Hayamwuruk… that kinda stuff.

“Lagu ini tentang apa?”, tanyanya demi mendengar kaset yang sedari tadi mengalunkan lagu-lagu barat 80-an.

“Tentang pria yang terluka.”

“Cieeee… Melo banget!”

“Melo apanya? Emang pria tak bisa terluka?”

Kami tertawa.

Dua jam kemudian, ia duduk di hadapanku, di sebuah kafe jalan Erlangga. Di kafe ini lah, aku sering “lari” dari Hayamwuruk untuk menemui seorang wanita, setahun yang lalu.

“Kenapa tidak cari pacar lagi, Mas?”

Kini ia pun seperti yang lain, melontarkan pertanyaan itu.

“Menurutmu selingkuh nggak sih, saat kita memiliki kekasih, tapi dalam lubuk hati kita ada sosok lain, meski sosok itu tak pernah kita temui?”
Aku tercekat! Apakah ia bisa membaca pikiran?
Tangan halusnya mengelus punggung tanganku. Kugenggam jemarinya, erat. Itulah jawabanku.
Dan ia tersenyum.

“Heh!” bibir pucat itu tersenyum lebar, seolah memenangkan sesuatu.

Aku tersenyum kecut.

“Nggak. Kadang pengin sih, tapi takut terikat. Belum siap!” jawabku sekenanya.

“Ih!”

Mata itu menatapku lekat. Aku seperti ditelanjangi. Tiba-tiba sebuah slide memasuki pikiranku, tentang perempuan yang dulu duduk di tempat ia duduk sekarang. Perempuan yang manja namun memahami, yang membatalkan pertunangannya demi bersamaku, yang bersamaku saat bayangan seorang wanita Jepara menari sebagai balerina di tepi-tepi hatiku.

Tiba-tiba rongga dadaku terasa sempit.

“Mas, menurutmu soulmate itu apa?”

Bibir pucat itu memadat. Matanya masih menatapku lekat.

“Aku tak percaya soulmate,” jawabku ringan.

“Bagiku cinta itu bisa dipelajari. Misalnya,… kita bertaruh sekarang, aku harus mencintai si A, menikahinya, dan mempertahankan bahtera keluarga, aku bisa melakukan itu. Sejelak apapun dia, seburuk apapun dia, aku pasti bisa belajar mencintainya. I’m a good learner.”

Matanya membelalak, pangkal alisnya bertaut.

“Sekarang, gimana kita bisa menilai pasangan kekasih itu soulmate atau bukan? Apa parameternya?” balasku.

“Ya, itu yang aku bingung. Kalo misalnya pernikahan jadi parameternya, banyak juga yang menemukan soulmate-nya setelah terpisah dari suaminya. Kaya Nia Zulkarnaen ama Ari Sihasale. Soulmate-nya si Nia itu si Ari atau mendiang suaminya ya? Apa kedua-duanya?”

Kami terdiam.

Soulmate itu konsep absurd yang kita bikin sendiri. Nggak ada itu soulmate, pasangan sejati. Yang sejati ya,… perasaan cinta dalam hati kita. Meski orang yang kita cintai berbeda, berganti, tapi perasaan cintanya ya sama, ya satu itu.”

Ia mengangguk-angguk. Sementara pikiranku berputar-putar. Ari dan Nia, Muslimah dan Kristiani, aku dan perempuan Kristiani yang tak mau memakai perhiasan salib itu.

“Karena itu, emang bener kalo cinta itu bisa dibagi. Tapi saat kita memiliki hubungan cinta, yang dijaga adalah komitmennya untuk menjaga hubungan itu dan menutup kemungkinan adanya orang lain dalam hati kita. Alasannya satu. Pasangan kita layak untuk mendapatkan itu. Coba kalo sepasang kekasih sama-sama mencintai orang lain di samping pasangannya, lalu apa gunanya saling komitmen?” lanjutku.

Dan sesuatu berteriak dari sudut hatiku, “munafik!” Bibirku kelu. Ucapanku sendiri menyadarkanku bahwa aku telah “selingkuh” ketika masih bersama perempuan kristiani itu. Aku selingkuh dengan bayangan seorang wanita Jepara saat memeluk hangat tubuhnya.


“Kamu cepet lulus dong,” rajuknya manja. Hangat nafasnya menerpa dagu dan leherku.
“Pasti, tapi tidak sekarang.”
“Hayamwuruk lagi!”
Aku tersenyum. Seandainya semua semudah yang ia pikirkan.
“Aku akan menunggu.Tapi…”
“Ya?” tanyaku.
“Udahlah, nggak usah dipikirin.”
Aku memandangnya lekat, menagih kata yang belum terucap.
Ia tersenyum.
“... denganmu seperti sekarang, sudah cukup membuatku bahagia. Itu saja.”
Ia mencium bibirku. Aku membalasnya. Nafas kami saling menelusup hingga ke jantung. Ada kepedihan di sana, dan kami saling berusaha menghisapnya keluar.


Ya Tuhan, aku teringat ibuku, penanda Tuhan yang mengajarkanku untuk tak melukai wanita. Ternyata aku "melukainya"! Untuk kesalahanku ini, meminta maaf saja tidak cukup! Aku akan bersetia padanya, meski ia bukan kekasihku lagi. Jika akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan sholat, aku akan kembali padanya. Tapi jika akhirnya ia menikahi orang lain, maka janji ini tak berlaku lagi. Dan aku hanya akan diam menunggu, agar ia ber-Islam bukan demiku.

“Mikir apaan? Balik yuk?”

Aku mengangkat muka. Ayu melangkah menuju kasir, bergegas kuikuti.

“Ini yang bayar aku. Sebagai ucapan terima kasih karena udah nganterin,”

Aku tersenyum mengejek. Hanya ada satu wanita yang boleh dan pernah membayar makananku. Aku mengeluarkan selembar dua puluhan, sementara ia lima puluhan. Sepertinya Tuhan menjaga harga diriku. Pelayan memilih mengambil uang yang kusodorkan ketimbang miliknya.

“Ya udah, uang kamu aku terima. Tapi aku titipin ke kamu, di-sodaqoh-in ya?” ujarku.

Ia tak menjawab. Hanya tersenyum, senyum terakhir sebelum kami berpisah. Dari SMS-nya aku tahu ia lolos seleksi sore itu, diterima bekerja di Bank Permata.***


Agustus, 2003.

(enam jam setelah pertemuanku dengan Ayu, aku mengucap sebuah janji. Tepat ketika titik-titik mikroskopis embun mulai turun dan Bulan tertawa mengejekku! Kini, janji itu terasa menyiksa. Tapi aku akan bertahan! dan berharap.. seseorang yang kini mengisi hatiku, mau memahami)

Anonymous said...
hai! blog kamu jelek. tapi isinya lumayan, terutama yang ini. aku tadi ga sengaja buka, karena alamatnya masih di recent list di warnet ini.

kalo boleh, aku ingin mengenal kamu.

i'm girl.

:)
turabul-aqdam said...
hi.. salam kenal.

so, u're girl?
what's wrong with girl?

sukma semarah... nama yang bagus.
Subscribe to: Post Comments (Atom)