Pelajaran dari Telur Pecah
Di sebuah Minggu jelang tahun 1990-an, cuaca cerah. Langit sangat biru, dan seorang anak kurus berlari-lari riang menuju toko Mbak Yati. Bagi anak berusia 8 tahun itu, tugas membeli telor ke toko langganan adalah hal yang menyenangkan.
Oh sebentar,.. bukan membeli. Tepatnya, kasbon. Bagi guru SD beranak empat, single parent pula, kasbon adalah cara yang tak terhindarkan untuk belanja, terutama ketika tanggal tua. Dan di tanggal tua kali itu, entah mengapa sang ibunda menugasi si anak untuk kasbon telur ke toko langganan.
Apapun alasannya, si anak tak peduli. Senyumnya mengembang ketika Mbak Yati menyerahkan sebutir telur. Riang membayangkan telur dadar yang gurih, sang anak pun berlari menuju ke rumah.
Hingga tanpa dinyana,.. Pyuk! Telur itu terpeleset dari tangan, terbelah dua mengalirkan cairan kuning-putih telur di selokan yang berbatu. Seketika, keriangan berbalik menjadi kekecewaan, dan kecemasan.
Kecewa karena berlaku ceroboh, dan cemas karena sang ibunda pasti akan mendampratnya habis-habisan. Insting anak itu pun mencari cara bagaimana tetap bisa menikmati telur, tanpa dimarahi sang ibunda.
Sederhana! Dia bergegas kembali ke toko, meminta satu butir lagi telur, lalu melangkah kembali ke rumah. Kali ini dengan sangat hat-hati. Setibanya di rumah, segera telur itu berubah menjadi lauk yang sangat nikmat bagi sang anak.
Begitu nikmatnya hingga dia memilih jadi anak baik sebagai bentuk rasa terima-kasih. Belajar, ketimbang bermain di hari Minggu itu. Di atas ubin rumahnya yang selalu dingin, dia pun asyik menelungkupi buku pelajaran. Angin sepoi-sepoi bertiup dari pintu kamar tamu.
Tiba-tiba sang ibunda masuk dari pintu belakang, berteriak menggelegar, "Kowe tuku endhog siji, apa loro??? Ngaku!!!!"
Tangan sang ibunda menarik rambut pelipisnya, diikuti cubitan di paha yang sangat sangat menyakitkan. Anak itu pun menjerit, menangis. Meski sering menerima hukuman fisik, baru kali ini dia menerima jambakan dan cubitan sekeras itu.
Tak puas, sang ibunda kembali menjewer telinga si anak, "Aku nganti padu karo Mbak Yati, rak terima diuneni kowe ngapusi!!! Wani-wanine kowe omong tuku endhog siji, ngedu bu'e karo Mbak Yati!"
Sembari meraung, anak itu pun berteriak, "Lha kula wedhi, mesthi Bu'e njewer kula mergo endhog-e tiba setunggaaaal!!"
Si anak berlari ke kamar, menyelamatkan diri, dan meninggalkan sang ibunda yang tertegun. Di sana, dia terisak nyaris satu jam, hingga kemudian tertidur meninggalkan bekas air mata di kasur.
Sore harinya, dia mendapati sang ibunda menghampirinya dengan mata berkaca-kaca mengisyaratkan penyesalan.
"Sakit, Le??" ujarnya lembut, sembari mengusap paha si anak yang membiru, lalu mengusap kepalanya.
Si anak kembali melelehkan air mata, kali ini bukan karena kesakitan, tapi entah kenapa usapan lembut itu membuatnya terharu. Puluhan dan barangkali ratusan kali dia membuat sang ibu marah dengan tingkah nakalnya, baru kali itu dia merasakan haru yang mendesak.
"Nek kowe jujur, ra mungkin koyo ngene. Bu'e dadi padu karo Mbak Yati gara-gara mbelani kowe, padahal kowe ora jujur. Sesuk maneh, Bu'e ora bakal muring-muring nek kowe salah, sing penting jujur ya, Le.."
"Nggih, Bu.." ujar si anak lirih.
***
Selokan bebatuan itu masih ada. Saya melihatnya sekilas ketika menziarahi rumah masa kecil saya di Lebuawu, Jepara, pada Desember 2013. Kenangan itu masih tersimpan baik, sama seperti pesannya yang masih saya pegang.
Di SD, saya tidak mencontek, dan selalu jadi juara kelas. Di SMP, ketika metode menghafal tak lagi cukup untuk menghadapi ujian seperti di SD, saya pernah coba mencontek, tapi sama sekali tak bangga melihat angka 10 yang saya dapatkan.
Saya justru bangga ketika melihat angka 7 yang saya dapat tanpa mencontek. Dan sediiiih sekali, ketika nilai saya berkurang karena guru salah hitung poin angka. Tanpa mencontek dan tanpa kemampuan menghafal yang super, saya pun jadi anak biasa-biasa saja di SMP, dan ibu tak pernah mempersoalkannya.
Kebanggaan terbesar saya adalah ketika menjadi satu dari tiga siswa kelas 1 SMP yang bisa menjawab benar sebuah persamaan matematika, padahal saya dikenal lemah di pelajaran ini. Dua siswa lain adalah Mahfud (si jago matematika), dan Kasnur (anak brilian dari desa tenun Troso) yang duduk tepat di depan saya.
Kawan-kawan mencibir, menduga saya mencontek Kasnur. Tapi mereka tentu salah karena ternyata kami menggunakan dua metode berbeda untuk memecahkan persamaan itu. Dan itu membuat Pak Sri, pengajar matematika yang biasanya ketus pada saya, hari itu tersenyum bangga memandang saya. Hari itu saja.
Saya pernah bercerita pada Ibu bagaimana teman saya yang juara kelas kadang curang ketika ujian dengan ngepek (mencontek buku pelajaran), sementara saya hanya mengandalkan ingatan. Dan beliau berpesan, "Ojo ngepek. Nek terpaksa, diisi ngawur ra po po tapi mbok pikir sik. Sekali kowe ngepek, mesthi keterusan, trus kowe dadi males mikir, males sinau."
Mungkin karena itulah saya mencintai ilmu sosial, bersemangat ketika ada tugas menulis artikel, fiksi maupun non-fiksi, dan menyukai ujian dengan model pertanyaan terbuka ketika duduk di SMA. Ditambah kebiasaan suka membaca, wawasan saya berkembang dan daya analitis saya terasah, dan saya menjadi satu dari sedikit siswa yang artikulatif dalam diskusi dan memenangi lomba karya ilmiah, hingga ditunjuk jadi Ketua KPI (semacam Rohis di SMA saya).
Mungkin dari situ juga mental amanah dan problem solver saya terbentuk. Well.. ini bisa saja merupakan klaim sepihak. Namun yang pasti, saya memikul tiga posisi Ketua sekaligus di kampus, di mana tak satupun darinya saya upayakan. Jika tak ditunjuk oleh tim, ya saya diamanahi untuk mewakili mereka lalu di-voting.
Hingga kini, saya memilih kejujuran sebagai jalan penyelamatan. Mengakui kesalahan dan berlaku jujur bagi saya lebih membebaskan, ketimbang berbohong yang biasanya berujung pada kebohongan-kebohongan baru yang kian menyesakkan.
Pentingnya sifat jujur ini baru saya pahami demi memahami kriteria pertama seorang rasul adalah sidiq (jujur). Jujur adalah bibit sifat-sifat positif yang lain. Ini juga menjelaskan kenapa Nabi menjawab "berlaku jujurlah setelah kamu bermaksiat" ketika seorang pemuda bertanya, "Saya tak bisa meninggalkan kebiasaan buruk saya, tapi saya ingin masuk Islam. Apa yang harus saya lakukan?"
Walhasil, pemuda itu bisa meninggalkan kebiasaan bermaksiat, karena lama-lama malu ketika harus menceritakan kemaksiatannya secara jujur kepada nabi dan para sahabatnya. Di dunia politik kita mengenal derivasinya sebagai 'transparansi', di pasar modal kita mengenalnya sebagai prinsip 'keterbukaan informasi'.
Saya bangga dan bahagia karena berlaku jujur. Dan saya bersyukur memiliki ibunda (almarhum) yang tidak terlalu ambisius pada saya di tataran permukaan (rangking, nilai, kemampuan rata-rata, dll).
Percayalah.. Setiap anak memiliki kelebihannya sendiri yang akan berkembang positif ketika dialasdasari kejujuran, termasuk jujur untuk tak memposisikannya sebagai sosok lain yang kita ambisikan.
Kejujuran, membantu saya menemukan jalan hidup seperti sekarang ini. Terima kasih, Ibu.. Semoga saya bisa terus menjalankan pesanmu itu..***
2 pendapat:
kala itu ibu sampeyan dirawat di kariadi. bareng krucil HW, aku ikut membesuk. yang aku ingat, beliau sedang sakit, tapi enggan menunjukkan kesakitannya. nyesel telat buka smsmu dulu yg lagi perlu darah untuk ibu.
beberapa tahun kemudian, ibuku juga berbulan-bulan dirawat di kariadi. ibuku juga tak mau bikin anak2nya repot, sakitnya dirasai sendiri. dalam kondisi sekarat dan segala macam kesulitan, ibuku tetap mengajarkan agar mencari uang yang halal.
4 tahun sudah ibuku mangkat. namun kenangannya, apa-apa yang pernah diajarkan, selalu membuatku ingin pulang. aku sendiri pernah mengalami krisis yang membuat hidupku superngawur. ngawur sengawur-ngawurnya. dan, ibu lah yang menunjukkan jalanku pulang.
semoga ibu sampeyan dan ibuku sudah mendapatkan tempat yang lebih enak di sana. amin
Post a Comment