Tuesday, October 09, 2012

Pasang Surut Indonesia-Malaysia


Konfrontasi pertama antara Indonesia dan Malaysia terjadi pada 1963, yang berawal dari keinginan Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada 1961.

Perang antara Indonesia-Malaysia ini berlangsung pada 1962-1966. Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu pada 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia.


Tindakan tersebut melanggar Persetujuan Manila, yakni THE MACAPAGAL PLAN yang diteken pada 31 Juli 1963, 3 Agustus 1963, dan 5 Agustus 1963 mengenai dekolonialisasi  yang harus mengikutsertakan rakyat Sarawak dan Sabah.

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi: Kalimantan (provinsi di Indonesia di selatan Kalimantan), Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara yang kemudian dinamakan Sabah.

Sebagai bagian dari penarikan diri dari koloni di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.

Rencana ini ditentang Presiden Soekarno yang berpendapat bahwa Malaysia hanya boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga mengklaim Sabah yang memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Filipina dan Indonesia setuju menerima pembentukan Federasi Malaysia jika ada referendum yang diorganisasi PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil pemilihan dilaporkan, Malaysia menilai pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri tanpa perlu campur tangan asing.

Sikap inilah yang dianggap pemimpin Indonesia sebagai pelanggaran Persetujuan Manila, sebagai bukti memboncengnya kolonialisme dan imperialisme Inggris. Soekarno menghendaki rakyat di wilayah itu menentukan sendiri pilihan mereka: bergabung dengan Malaysia atau Indonesia, atau jadi negara sendiri.

Rakyat Kalimantan Utara yang tak mau bergabung dengan Malaysia dipimpin tokoh mereka yang populer, Abang Azahari, dengan panglima perangnya Abang Zulkifli. Indonesia mengirim agen intelijen untuk membantu pergerakan mereka.

Akibatnya, warga Malaysia berdemonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 September 1963 dengan menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman  dan memaksanya menginjak Garuda.

Demonstrasi itu merespon pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio yang menyatakan Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, dan masuknya sukarelawan Indonesia ke Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan sabotasepada 12 April.

Melihat demonstrasi itu, Soekarno kian murka dan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama ‘Ganyang Malaysia.’ Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato yang bersejarah:

“Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat  itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Soekarno.

Soekarno makin berang ketika pemerintah Malaysia dibantu Inggris yang mengirim 80 batalyon pasukan tempur dan mengerahkan helikopter dalam jumlah terbesar sepanjang pasca Perang Dunia II. Amerika Serikat mendukung Inggris.

Rakyat Kalimantan Utara yang didukung sukarelawan dan pemerintah Soekarno menyerang pasukan Inggris di perbatasan dan tentara Inggris mengejar mereka sampai memasuki wilayah Indonesia. Ketegangan dan perang ini berlangsung sampai 1967.

Pada 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
1. Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia

Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan 50 gerilyawan Indonesia. Meski Filipina tidak berperang, mereka memutus hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Namun, Federasi Malaysia tetap dibentuk pada 16 September 1963, yang kemudian ditolak Brunei serta Singapura. Keduanya keluar dari federasi di kemudian hari. Dua hari kemudian massa di Jakarta membakar kedutaan Inggris, merebut kedutaan Singapura, dan rumah diplomat Singapura.

Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan milisi mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, tapi gagal.

Pada 1964 pasukan Indonesia menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Pada Mei, dibentuk Komando Siaga yang bertugas mengkoordinir perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).

Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO.

Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD.

Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur. Pada Agustus, 16 agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor.

Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentara Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukan mempertahankan Malaysia untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia, tetapi yang banyak terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah pasukan Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS).

Tercatat sekitar 2.000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006). Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan coba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor.

Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada 20 Januari 1965 dan membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo).
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima permintaan Malaysia. Pasukan Australia menurunkan tiga Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service.

Ada sekitar 14.000 pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti SAS, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (melalui Operasi Claret). Australia mengakui operasi ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resmi. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5.000 orang menyerang pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan berlangsung hingga 8 September, meski gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari."

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto mengkudeta Sukarno setelah berlangsung G 30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan mereda.

Pada 28 Mei 1966 di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir pada Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan 2 hari kemudian.


Namun, hubungan Indonesia dan Malaysia juga sempat memburuk pada masa orde baru, yakni pada 1969 ketika kedua negara mengajukan klaim atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua negara pada 1997 sepakat menyelesaikan sengketa wilayah itu di Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda setelah gagal melakukan negosiasi bilateral.

Pada 2002 ketika kepulauan Sipadan dan Ligitan diambil Malaysia, setelah memenangi  keputusan Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda. Indonesia dinyatakan kalah dari Malaysia, dan Malaysia berhak atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan dasar efektivitas meski terbukti gagal menunjukkan klaim bahwa wilayah itu adalah bagian dari Kesultanan Sulu.

Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur, yang diklaim dua negara sehingga menjadi sumber sengkata lebih dari 3 dekade.

Pada 2005 terjadi sengketa mengenai batas wilayah dan kepemilikan Ambalat. Ini merupakan kasus lama yang berawal pada 1967 ketika pertama kali diadakan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia di mana kedua belah pihak akhirnya membentuk kesepakatan (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan status quo).

Konflik ini berakar dari 27 Oktober 1969 ketika dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, di mana kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.

Namun tidak lama berselang, pada tahun yang sama, Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) ke wilayahnya sehingga Indonesia dan Singapura sama-sama menolak peta baru Malaysia tersebut.

Kemudian pada 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia, akan tetapi kembali pada 1979 Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim secara sepihak dengan membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati pulau Sebatik.

Lalu, pada 2007 muncul diikuti klaim lagu Rasa Sayang-Sayange yang digunakan departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, pada Oktober 2007. Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan lagu Rasa Sayange merupakan lagu Kepulauan Nusantara, tetapi Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia, karena merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi ini sejak leluhur.

Pada April 2011, terjadi penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, diikuti berdirinya Museum Kerinci di Malaysia yang berdiri atas kerja sama Malaysia dengan Pemkab Kerinci, Indonesia.

Selanjutnya, pada Oktober 2011 Komisi I DPR RI menemukan adanya perubahan tapal batas negara di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yaitu Camar Bulan & Tanjung Datu. Pemerintah Indonesia diminta untuk menginvestigasi masalah ini.

Hubungan Baik
Hubungan mesra antara Indonesia-Malaysia terjadi setelah Presiden Soeharto mengambil alih pemerintahan di Indonesia sesudah terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang didalangi PKI.  Upaya normalisasi hubungan dua negara berlangsung setelah Presiden Sukarno “lengser”  dan Soeharto menjadi Presiden RI.

Pada masa pemerintahan Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, hubungan Indonesia-Malaysia sangat mesra, bagaikan hubungan kakak dan adik. Pada masa itu,  hubungan kedua negara sangat indah dan mesra hingga TVRI menayangkan acara dua budaya dua negara dengan nama “Titian Muhibah.”

Belakangan, sampai sekarang, produk budaya Indonesia juga unggul di wilayah Malaysia, dengan ditayangkannya sinetron Indonesia serta lagu-lagu populer Indonesia di media massa negara tersebut. Terakhir, sinetron Para Pencari Tuhan karya Deddy Mizwar juga dibeli hak tayangnya oleh TV Malaysia pada Ramadhan tahun ini.

Sejarah mencatat bahwa Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan baik dengan mengadakan pertukaran pelajar setiap tahun. Banyak investor dari Malaysia yang berinvestasi di Indonesia dan sedikit-banyak membantu pemerintah Indonesia mengentaskan pengangguran.

Sebaliknya, Malaysia juga banyak menampung tenaga kerja dari Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), pekerja perkebunan sawit, petugas medis, pekerja bangunan serta tenaga profesional lain.

Saat ini, secara resmi, Indonesia dan Malaysia menjalin kerja sama di tujuh sektor, yakni perdagangan, investasi, tenaga kerja, perhubungan, kehutanan, perikanan, pendidikan, dan pariwisata, yang dinilai menjadi poin utama yang penting untuk meningkatkan perekonomian kedua negara.

Tujuh sektor itu dipilih berdasarkan kesepakatan pertemuan kedua negara di level menteri, menindaklanjuti pertemuan Presiden SBY dan Perdana Menteri Najib Razak pada Mei. Salah satu investor asal Indonesia yang akan berekspansi ke Malaysia melalui kanal kerja sama itu adalah Blue Bird Group. Perusahaan taksi ini berminat untuk berinvestasi ke Malaysia di bisnis pertaksian dan sudah melakukan joint venture dengan satu perusahaan Malaysia.

Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga telah sepakat mempererat kerjasama kedua negara dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Khususnya utk Tindak Pidana Asal Korupsi, Terorisme, Narkoba dan Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup.

Menurut Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan komitmen tersebut diambil dalam pertemuan bilateral Delegasi Indonesia dan Delegasi negara jiran Malaysia pada Asia Pacific Group on Money Laundering Annual Meeting 2012 di Brisbane Australia, Sabtu (21/7).

Kedua negara juga saling tergantung ditunjukkan oleh kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja dari Indonesia. Hubungan demikian sudah berlangsung sejak lama karena kesamaan bahasa, agama dan budaya antara orang Indonesia dan Malaysia.

Pada awal-awal kemerdekaan, masuknya orang Indonesia ke Malaysia bahkan disambut baik secara diam-diam (silently welcomed) untuk mempertahankan keseimbangan ras di negara itu.

Keberhasilan program industrialisasi Malaysia di tahun ‘70-an juga menambah kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja dari Indonesia, baik di sektor pertanian, industri maupun konstruksi. Dalam kacamata banyak masyarakat Indonesia, saling membantu itu dicerminkan dari kerelaan untuk membantu sebagaimana yang dilakukan Indonesia terhadap Malaysia di tahun 1960-an di mana Malaysia yang baru merdeka memerlukan guru-guru dan ahli teknik.

Kerjasama yang baik dan hubungan historis ini dipahami sebagai suatu kerjasama yang ideal antara negara serumpun oleh banyak kalangan masyarakat Indonesia. Bantuan kerjasama ini seringkali diulang-ulang dan menjadi sumber wacana utama bagi masyarakat dalam memahami Malaysia. Ketika ada masalah dalam hubungan bilateral, pemerintah dan masyarakat tidak segan-segan mengungkit bantuan ini dan menyatakan bahwa Malaysia tidak tahu membalas budi.

Namun, di pihak Malaysia, persepsi tentang kesalingketergantungan mengalami proses pemaknaan berbeda saat ini. Malaysia bergantung dengan tenaga kerja murah dari Indonesia untuk pembangunan sektor 3D (dirty, dangerous, difficult), yang diperlukan tapi tidak diinginkan.

Proses pergeseran makna tentang kesalingtergantungan ini dimulai sejak 1980-an. Para pekerja Indonesia misalnya tidak dilihat sebagai yang melengkapi pembangunan Malaysia. Isu ini menjadi “persoalan keamanan” di Malaysia  terutama setelah beberapa kasus kerusuhan yang diletupkan para pekerja Indonesia di awal 2000-an.

Kata ‘Indon‘ yang mulanya berupa akronim untuk memudahkan menyebut Indonesia, pun mengalami penyempitan makna (peyorasi)  menjadi negatif, yakni orang Indonesia yang melakukan hal-hal negatif dan melawan hukum.

Bibit Konflik
Jika ditarik lebih jauh, latar-belakang sejarah konflik Indonesia dan Malaysia berakar dari kolonialisme. Jauh sebelum keduanya menjadi negara berdaulat, Indonesia dan Malaysia merupakan satu kesatuan wilayah, budaya, sosial, politik dan ekonomi.

Majapahit, misalnya pernah berkuasa hingga ke semenanjung Malaysia dan Singapura, menundukkan kerajaan Malayapura. Namun, penjajah Barat memisahkan keduanya, bermula dari Perjanjian (Traktat) London pada 17 Maret 1824 antara Belanda dan Inggris yang membagi wilayah "Nusantara" yang disebut di Malaysia "Dunia Melayu".

Isi perjanjian London itu antara lain bahwa kawasan yang dikuasai Inggris, diberikan kepada Inggris dan yang dikuasai Belanda, diserahkan kepada Belanda.

Malaysia merupakan salah satu wilayah yang dikuasai Inggris, sedang Indonesia dikuasai Belanda.Meski bahasa Melayu sangat dikenal luas dan banyak dipakai masyarakat Jawa, tetapi tetap saja wilayah ini disebut Belanda sebagai nusantara, sedangkan daerah Malaysia disebut sebagai Melayu Raya. Terlihat ada semacam pemisahan kultural yang sengaja dilakukan kolonialis terhadap kedua wilayah tersebut.

Sejarawan Malaysia Muhammad Takari bin Jijin Syahrial dalam Fungsi dan Bentuk Komunikasi dalam Lagu dan Tari Melayu di Sumatera Utara (2010:445) mengatakan hubungan kekerabatan dan darah antara Indonesia dan Malaysia sangat kental.

Inilah yang pada gilirannya membuat warga Malaysia merasa berhak memiliki warisan budaya sama seperti orang Indonesia. Dia menunjukkan di Kedah, Perlis, dan Pulau Pinang, di mana banyak migran dari Aceh dan Sumatera Utara.

Sebaliknya di beberapa kawasan di Sumatera terdapat kelompok-kelompok masyarakat Melayu yang bermigrasi dari Semenanjung Malaysia, misalnya di pulau Jaring Halus Sumatera Utara, yang mayoritas penduduknya ialah keturunan Kedah. Begitu juga dengan Kampung Pahang, Kampung Perlis, Kampung Perak.

P. Ramlee, seniman besar Malaysia (di Indonesia dikenal ketika lagunya berjudul Madu Tiga dinyanyikan Ahmad Dhani) adalah keturunan Aceh. Begitu juga Ahmad Jais, nenek moyang berasal dari Labuhan Batu, Sumatera Utara. Hubungan darah, kekerabatan dan migrasi penduduk, telah menyebabkan berkembangnya budaya yang sama di dua negara.

Tidak segan-segan, Tun Abdul Razak dalam Kongres Kebudayaan Kebangsaan pada 16 Agustus 1971 berkata

"..... nenek moyang bangsa kita yang mendiami rantau Nusantara ini meninggalkan pusaka kebudayaan yang kaya-raya dan tinggi mutunya. Maka itu, sudah sewajarnya kita menerima gagasan bahawa kebudayaan yang sedang dibentuk dan dicorakkan itu hendaklah berlandaskan kebudayaan rakyat asal rantau ini. Bagaimanapun, patutlah juga kita mengambil unsur-unsur kebudayaan yang datang ke rantau ini dan membawa pengaruh-pengaruh ke atas semenjak beberapa lama supaya pengaruh-pengaruh yang bermanfaat dapat menyegarkan dan menentukan corak kebudayaan Malaysia bagi masa hadapan. Namun, haruslah diingat, dalam mencari bentuk dan menentukan corak kebudayaan, kita tidaklah melupakan hakikat masyarakat kita yang berbilang kaum "the reality of our multiracial society." Kita hendaklah senantiasa berpadu kepada cita-cita membentuk suatu negara di mana rakyatnya dari pelbagai kaum dan golongan dapat dijalin dalam satu ikatan yang padu. Saya percaya selagi kita sedar dan insaf akan hakikat ini, kita tidak akan melencong dari matlamat mendirikan bangsa yang bersatu.”

Namun, ketidakpahaman sejarah secara utuh ini membuat masyarakat kedua negara mudah tersulut. Menurut survei Sydneys Lowy Institute pada 2012, misalnya, banyak responden yang menilai Malaysia lebih mengancam kedaulatan Indonesia ketimbang Amerika Serikat.

Survei tersebut dilakukan di seluruh Indonesia kecuali Maluku, Papua dan Papua Barat. Usia responden 17 ke atas. Hasilnya, negara yang dianggap ancaman adalah Malaysia (63%), Amerika Serikat (19%), China, Australia, dan Singapura (12%).

Hasil survei ini tidak berubah dari temuan survei Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia pada 2010 terhadap dari 250 mahasiswa, yang menyebutkan bahwa sebanyak 69% responden menempatkan Malaysia sebagai ancaman utama Indonesia di era globalisasi.

Selain faktor budaya, konflik juga sedikit banyak terkait dengan persaingan bisnis dan ekonomi. Meski Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) terbesar dunia, tetapi kenyataannya perusahaan Malaysia banyak menguasai dan mengoperasikan lahan perkebunan dalam negeri tersebut.

Data Kementerian Pertanian (Kemtan) menyebutkan dari total lahan kelapa sawit yang ada di Indonesia sebesar 8,9 juta hektare (ha), investor asing menguasai 40%. Malaysia yang dikenal sebagai negara penghasil CPO nomor dua dunia setelah Indonesia, menguasai 3 juta ha lahan sawit di Indonesia.

Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kebun sawit di Indonesia antara lain Guthrie, Golden Hope, Sime Darby, KL Kepong, IOI, TH Plantations, dan Kulim. Grup Khazanah yang biasa bergerak di sektor keuangan juga merambah bisnis sawit di Indonesia.

Tiga perusahaan perkebunan asal Negeri Jiran Malaysia, yakni PT TH Indo Plantation, Minamas, dan PT Adei mengelola sedikitnya 178.000 hektare lahan di Provinsi Riau. Seperti dikutip Bisnis.com, Konsulat Malaysia Azizan Ismail mengatakan pengelolaan lahan perkebunan itu setiap tahun naik signifikan.

Di sektor perbankan, PT CIMB Niaga Tbk yang berbasis di Malaysia tercatat menguasai posisi lima besar bank di Indonesia, dengan dana pihak ketiga (DPK) terbesar nasional pada tahun lalu. Nilainya mencapai Rp131,79 triliun, atau naik 11,86% dari angka 2010 sebesar Rp117,82 triliun.

CIMB Niaga juga menduduki posisi lima besar bank yang menyalurkan kredit terbesar, yakni sebesar Rp131,79 triliun pada 2011, naik 18,94% dari posisi setahun sebelumnya senilai Rp102,72 triliun.

Jangan lupakan juga PT Bank Internasional Indonesia Tbk milik Maybank (Malaysian Banking Berhad), yang tahun lalu duduk di posisi sembilan menguasai Rp70,48 triliun DPK, naik 17,51% dari posisi setahun sebelumnya senilai Rp59,98 triliun. Dari sisi penyaluran kredit, mereka berada di nomor urut 10 dengan nilai kredit Rp62,63 triliun, naik 25,09% dari posisi 2010 senilai Rp50,07 triliun.

Di sisi lain, pabrikan Malaysia yakni Proton juga telah memasuki pasar otomotif Indonesia, meski pangsa pasarnya masih kecil yakni di bawah 1%. Namun, di industri yang sama, mereka juga menjual pelumas Petronas.

Di dunia penerbangan, Air Asia yang berbasis di Malaysia juga menggarap pasar Indonesia dan menguasai 8% pasar penerbangan sipil domestik di Indonesia. Namun untuk penerbangan internasional, mereka menguasai 46% pasar.

Bahkan di sektor telekomunikasi, Axiata asal Malaysia menguasai PT XL Axiata Tbk yang kini menjadi penguasa industri seluler terbesar kedua nasional, mengalahkan PT Indosat Tbk yang dikendalikan Singapura.

Sebaliknya, Indonesia tidak memiliki perusahaan skala global yang masuk dan bercokol di daftar 10 besar pasar di Malaysia, kecuali Pertamina yang memasarkan produk minyak pelumasnya di negeri jiran tersebut, J-Co yang berjualan donat, dan Es Teler 77 yang merupakan restoran waralaba.

Dari sisi neraca perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia-Malaysia membengkak. Tahun lalu (2011), nilai impor Indonesia dari Malaysia mencapai US$8,9 miliar, sedangkan nilai ekspornya hanya US$6,4 miliar.

Ketimpangan keunggulan inilah yang membuat masyarakat Indonesia, penghuni negara yang dulu mengungguli Malaysia di banyak bidang, kini mengalami semacam inferioritas complex dalam menghadapi pertentangan dan konflik dengan Malaysia.***

Subscribe to: Posts (Atom)